Sabtu, 14 Februari 2009

Social Judgement Theory

SOCIAL JUDGMENT THEORY

Teori penilaian sosial atau Social Cognitive Theory merupakan teori ilmiah yang dikemukakan pertama kali oleh Muzafer Sherif dan Carl Hovland pada tahun 1961. Secara epistemologis, terdapat satu interpretasi umum atas teori ini yakni dalam hal orang selalu menilai pesan-pesan yang mereka terima. Sedangkan secara ontologis, teori ini bersifat deterministik, di mana perilaku seseorang bisa diprediksi. Sedangkan secara aksiologis teori ini bersifat netral nilai, artinya proposisi-proposisinya bersifat objektif, tidak bias.

TArising out of the socio-psychological tradition, SJT is a theory that focuses on the internal processes of an individual’s judgment with relation to a communicated message.TTtTTtthgl66teori ini berfokus pada proses internal dari seorang individu dalam menilai pesan yang dikomunikasikan.SJT was intended to be an explanatory method designed to detail when persuasive messages are most likely to succeed. Attitude change is the fundamental objective of persuasive communication..SJT seeks to specify the conditions under which this change takes place and predict the direction and extent of the attitude change. Teori penilaian sosial berusaha untuk menentukan kondisi di mana perubahan ini berlangsung dan memprediksi arah serta seberapa besar perubahan sikap, mengingat perubahan sikap dasar adalah tujuan komunikasi persuasif.In sum, the researchers strove to develop a theory that addressed the following: a person’s likelihood to change his/her position, the likely direction of his/her attitude change, a person’s tolerance of other positions, and the level of commitment to his/her own position. Para peneliti berusaha untuk mengembangkan teori berikut ini: kemungkinan seseorang untuk mengganti posisinya, kemungkinan perubahan sikap, toleransi dari orang lain, dan tingkat komitmen pribadi.(Sherif, Sherif, & Nebergall, 1965). (Sheriff, Sheriff, & Nebergall, 1965).The SJT researchers claimed that expectations regarding attitude change could be based on the message receiver’s level of involvement, the structure of the stimulus (ie, how many alternatives it allows), and the value (credibility) of the source. Dalam teori penilaian sosial dinyatakan juga bahwa perubahan sikap terhadap keinginan dapat didasarkan pada tingkat keterlibatan penerima pesan, struktur rangsangan (yakni berapa banyak kemungkinkan alternatif), dan nilai (kredibilitas) dari sumber pesan..

Perkembangan Social judgment theory

SJT arose from social psychology and was based on laboratory findings resulting from experiments. Social judgment theory muncul dari ilmu psikologi sosial dan berdasarkan dari hasil penelitian.These experiments studied the mental assessment of physical objects, referred to at the time as psychophysical research. Penelitian ini mencoba mempelajari penilaian mental secara fisik atau benda, disebut juga sebagai penelitian psikopsikal.Subjects were asked to compare some aspect of an object, such as weight or color, to another, differing object. Subjek diminta untuk membandingkan beberapa aspek dari sebuah objek, seperti berat atau warna, dan obyek lain yang berbeda-beda.The researchers discovered that when a standard was provided for comparison, the participants categorized the objects relative to the aspects of the standard. Para peneliti menemukan bahwa ketika standar digunakan sebagai perbandingan, para peserta kategori obyek bersikap relatif terhadap aspek standar.For example, if a very heavy object was used as the standard in assessing weight, then the other objects would be judged to be relatively lighter than if a very light object was used as the standard. Misalnya, jika objek yang sangat berat yang digunakan sebagai standar dalam menilai berat, maka objek lainnya akan dinilai relatif lebih ringan daripada jika objek yang sangat ringan digunakan sebagai standar.The standard is referred to as an "anchor".This work involving physical objects was applied to psychosocial work, in which a participant’s limits of acceptability on social issues are studied (Sherif & Hovland, 1961; Sherif et al., 1965). Penelitian terhadap objek ini diterapkan untuk penelitian psikososial, dimana batas masalah-masalah sosial salah satu peserta dipelajari termasuk isu-isu sosial seperti agama dan politik (Sheriff & Hovland, 1961; Sheriff et al., 1965)Social issues include areas such as religion and politics..

Proses dan sikap penilaian

Proses dan perbandingan penilaian ditemukan dalam perubahan sikap, walaupun sebab munculnya penilaian sifat pada proses perubahan sikap yang sulit ditentukan (Kiesler, Collins, & Miller, 1969).A judgment occurs when a person compares at least two stimuli and makes a choice about them. Penilaian terjadi bila orang membandingkan sekurang-kurangnya dua stimuli dan membuat pilihan tentang mereka.With regard to social stimuli specifically, judgment processes incorporate both past experiences and present circumstances (Sherif, 1963). Berkenaan dengan stimuli sosial secara khusus, proses pertimbangan menggabungkan kedua pengalaman masa lalu dan keadaan sekarang (Sheriff, 1963).Sherif et al. Peneliti harus mengambil keputusan dari perilaku sikap baik yang dapat diatur atau terjadi secara alami-stimuli.True attitudes are fundamental to self-identity, are complex, and thus can be difficult to change. Perilaku diri yang mendasar umumnya sangat kompleks, sehingga sulit untuk dapat berubah. (Nebergall, 1966; Sheriff & Hovland, 1961; Sheriff et al., 1965)

One of the ways in which the SJT developers observed attitudes was through the Own Categories Questionnaire.Salah satu cara untuk mengamati sikap yakni melalui Kuisioner Kategori Pribadi. This method requires research participants to place statements into piles of most acceptable, most offensive, neutral, and so on, in order for researchers to infer their attitudes. Metode ini memerlukan penelitian peserta dengan kategori setuju, tidak setuju, netral, dan sebagainya, dimana peneliti mengambil kesimpulan dari sikap pilihan mereka. This categorization, an observable judgment process, was seen by Sherif and Hovland (1961) as a major component of attitude formation. Dari kategorisasi tersebut, tampak sebuah proses pengadilan, yang dilihat oleh Sheriff dan Hovland (1961) sebagai komponen utama pembentukan sikap.As a judgment process, categorization and attitude formation are a product of recurring instances so that past experiences influence decisions regarding aspects of the current situation. Sebagai suatu proses penilaian, kategorisasi dan sikap formasi adalah produk berulang sebagai contoh pengalaman masa lalu, yang mempengaruhi keputusan terhadap aspek situasi saat ini, yang memunculkan sikap. Experience, knowledge, and emotion dictate these choices.Pengalaman, pengetahuan, dan ego untuk menentukan pilihan. (Sheriff et al., 1965)

Kesetaraan penolakan, penerimaan, dan ketidakberpihakan

All social attitudes are not cumulative, especially regarding issues where the attitude is extreme (Sherif et al., 1965).Semua sikap sosial tidak bersifat kumulatif, terutama hal-hal yang ekstrim sikapnya (Sheriff et al., 1965).This means that a person may not agree with less extreme stands relative to his/her position, even though they may be in the same direction. Ini berarti bahwa orang mungkin tidak setuju dengan keberadaan orang lain yang lebih ekstrim, walaupun mereka berada pada arah yang sama.Furthermore, even though two people may seem to hold identical attitudes, their “most preferred” and “least preferred” alternatives may differ. meskipun dua orang memiliki kemungkinan sikap yang sangat mirip satu sama lain, tetap ada kemungkinan berbeda.Thus, a person’s full attitude can only be understood in terms of what other positions he/she finds acceptable (or not) in addition to his/her own stand (Nebergall, 1966). Oleh karena itu, sikap seseorang hanya dapat dipahami dalam hal apa dia dapat atau tidak menentukan pilihan (Nebergall, 1966). This continuum illustrates a crucial point of SJT, referred to as the "latitudes of acceptance, rejection, and noncommitment". These degrees or latitudes together create the full spectrum of an individual’s attitude.Dalam tingkataDDalam tingkat atau kesetaraan menciptakan spektrum kesetaraan penuh dari sikap seorang individu.Sherif and Hovland (1961) define the latitude of acceptance “as the range of positions on an issue…an individual considers acceptable to him (including the one ‘most acceptable’ to him)” (p. 129). Sheriff dan Hovland (1961) menetapkan penerimaan kesejajaran "sebagai rentang posisi dalam suatu hal ... individu mempertimbangkan dirinya kembali (termasuk hal yang paling dapat diterimanya)" (hal 129). On the opposite of the continuum lies the latitude of rejection. Pada berlawanan dari kontinum terletak di lintang dari penolakan. This is defined as including the “positions he finds objectionable (including the one ‘most objectionable’ to him”) (Sherif & Hovland, 1961, p. 129). Hal ini termasuk yang didefinisikan sebagai "posisi nyaman (termasuk hal yang paling menyenangkan orang tersebut) (Sheriff & Hovland, 1961, hal 129). This latitude of rejection was deemed essential by the SJT developers in determining an individual’s level of involvement and thus his/her propensity to attitude change. Kesetaraan dari penolakan ini dianggap penting oleh peneliti dalam menentukan tingkat keterlibatan sehingga seseorang memiliki kecenderungan untuk mengubah sikap.The greater the rejection latitude, the more involved the individual is in the issue and thus is harder to persuade. Semakin besar penolakan kesetaraan, semakin banyak orang yang terlibat dalam masalah sehingga lebih sulit untuk meyakinkan.In the middle of these opposites lies the latitude of noncommitment, a range of viewpoints where one feels primarily indifferent. Di tengah pertentangan terletak kesetaraan dari ketidakberpihakkan, suatu pandang dimana tidak ada satu pun merasa berbeda.

These latitudes dictate the likelihood of assimilation and contrast. Persamaan dan perbedaan

Ketika pandangan yang berbeda dinyatakan dalam pesan komunikasi, bila disampaikan pada orang kesetaraan penerimaan, pesan tersebut akan lebih mungkin untuk diasimilasikan atau dipandangan sendiri.When the message is perceived as being very different from one’s anchor and thus falling within the latitude of rejection, persuasion is unlikely due to a contrast effect. Bila pesan dianggap berbeda dari oleh orang lain maka terdapat penolakan, kepercayaan tidaklah mungkin karena adanya efek kontras.The contrast effect is what happens when the message is viewed as being further away than it actually is from the anchor. Efek yang kontras dengan apa yang terjadi bila pesan yang dilihat sebagai jauh dari yang sebenarnya. Messages falling within the latitude of noncommitment, however, are the ones most likely to achieve the desired attitude change.Pesan yang jatuh di rentang dari ketidakberpihakkan Namun, adalah salah satu yang paling mungkin untuk mencapai perubahan sikap yang diinginkan.Therefore, the more extreme stand an individual has, the greater his/her latitude of rejection and thus the harder he/she is to persuade. Oleh karena itu, lebih ekstrim telah berdiri seorang individu, semakin besar seseorang melakukan pertentangan sehingga seseorang adalah untuk meyakinkan.

[ edit ] Ego-involvementKKkKeterlibatan - ego

It was speculated by the SJT researchers that extreme stands, and thus wide latitudes of rejection, were a result of high ego-involvement. Ada pendapat ahli bahwa semakin kuat seseorang melakukan penolakan akan menciptakan keterlibatan-ego tinggi.According to the 1961 Sherif and Hovland work, the level of ego-involvement depends upon whether the issue “arouses an intense attitude or, rather, whether the individual can regard the issue with some detachment as primarily a ‘factual’ matter” (p. 191). Menurut Sheriff 1961 dan Hovland kerja, tingkat keterlibatan-ego tergantung pada apakah masalah "perkembangan sikap yang kuat, atau sebaliknya, apakah individu dapat memperhatikan masalah dengan beberapa detasemen terutama sebagai sebuah 'faktual' masalah" (hal. 191). Religion, politics, and family are examples of issues that typically result in highly involved attitudes; they contribute to one’s self-identity (Sherif et al., 1965). Agama, politik, dan keluarga adalah contoh dari hal-hal yang biasanya hasilnya sangat terlibat dalam sikap mereka berkontribusi ke salah satu dari identitas diri (Sheriff et al., 1965).

The concept of involvement is the crux of SJT. Konsep keterlibatan adalah pokok dari social judgment theory. In short, Sherif et al. Sheriff et al. (1965) speculated that individuals who are highly involved in an issue are more likely to evaluate all possible positions, therefore resulting in an extremely limited or nonexistent latitude of noncommitment. (1965) berpendapat bahwa orang-orang yang sangat terlibat dalam masalah lebih mungkin untuk mengevaluasi semua kemungkinan posisi, sehingga mengakibatkan yang sangat terbatasnya atau tidak terdapat suatu rentang dari ketidakberpihakkan.High involvement also means that individuals will have a more restricted latitude of acceptance. Keterlibatan dalam tingkat tinggi juga berarti bahwa akan ada orang yang lebih dibatasi oleh penerimaan.Because discrepant positions are less tolerable when a person is highly involved, more messages will fall into the latitude of rejection, which under this condition is wider. Karena posisi tidak dapat berkurang bila orang sangat terlibat, pesan akan jatuh ke dalam dari penolakan, yang di bawah ini adalah kondisi yang lebih luas. According to SJT, messages falling within the latitude of rejection are unlikely to successfully persuade. Menurut teori penilaian social ini, pesan yang ditolak tidak mungkin berhasil meyakinkan.Therefore, highly involved individuals will be harder to persuade per SJT (Sherif & Hovland, 1961; Sherif et al., 1965). (Sheriff & Hovland, 1961; Sheriff et al., 1965).

Kritik

Teori ini menyatakan bahwa ada dua langkah proses kepercayaan:

(1) melibatkan individu mendengar atau membaca pesan dan segera mengevaluasi dimana pesan berada dalam posisi mereka saat itu,

(2) melibatkan individu tertentu menyesuaikan sikap mereka terhadap salah satu pihak atau menolak pesan yang didengar keduanya.

Kiesler, CA, Collins, BE, & Miller, N. (1969). Attitude change: A critical analysis of theoretical approaches . Kesimpulan

Teori ini menjelaskan tentang suatu pesan atau pernyataan diterima atau ditolak itu didasarkan atas peta kognitif kita sendiri terhadap pesan tersebut.

Seseorang menerima atau menolak suatu pernyataan atau pesan-pesan tertentu, bergantung kepada keterlibatan egonya sendiri. Ketika orang menerima pesan, baik verbal ataupun nonverbal, mereka dengan segera men-judge (memperkirakan, menilai) di mana pesan harus ditempatkan dalam bagian otaknya dengan cara membandingkannya dengan pesan-pesan yang diterimanya selama ini.

Teori ini juga menjelaskan tentang bagaimana individu menilai pesan-pesan yang mereka terima. Ia juga mampu memprediksi bahwa seseorang menerima atau menolak terhadap pesan-pesan yang masuk. Selain itu teori ini juga melahirkan hipotesis-hipotesis baru dan memperluas rentangan pengetahuan seseorang, termasuk kita ketika sedang menerima pesan-pesan, dan juga memiliki kekuatan terorganisir melalui pengorganisasian pengetahuan yang ada di dalam otak kita mengenai suatu sikap.

Referensi:

www.wikipedia.com

Communication Capstone. 2001. Theory workbook. Avalilable at: http:/www.uky.edu/~drlane/capstone/persuasion/

Tukang Cukur

Seorang pria pergi ke tukang cukur unutk memotong ranbutnya. Ketika tukang cukur tersebut mulai memotong rambutnya, mereka terlibat dalam pembicaraan yang mengasyikkan. Mereka ngobrol banyak hal.

Ketika sampai pada topic Tuhan, tukang cukur itu berkata, “Aku nggak percaya bahwa Tuhan itu ada!”

“O, ya? Kamu kok bisa bilang begitu?” Tanya si pria.

“Gini, kamu coba keluar ke jalan-jalan. Turs liat disana, klo Tuhan itu memang ada, kenapa harus ada orang-orang yang sakit? Kenapa harus ada gelandangan? Kalo Tuhan itu ada, pasti nggak perlu ada penderitaan kayak gitu kan? Aku nggak bisa bayangkan Tuhan yang katanya pengasih itu mengizinkan mereka mengalami hal-hal buruk kayak gitu...”

Si pria berpikir sebentar, tapi memutuskan unutk tidak merespons pernyataan si tukang cukur.

Akhirnya, tukang cukur itu menyelesaikan tugasnya dan pria itu segera membayar dan segera hendak pulang. Tapi beberapa saat setelah si pria keluar, dia melihat seseorang dengan rambut yang panjang, acak-acakan, tidak terawat, dengan jenggot dan kumis yang lebat. Orang itu nampak kotor dan tidak sedap dipandang.

Ketika melihat orang itu, pria yang baru memotong rambutnya tersebut, kembali ke tukang cukur tersebut, dan berkata, ”Tau nggak? Tukang cukur itu ternyata tidak ada!”

”lho, kok bisa?” tanya si tukang cukur terkejut. ”Aku ada di sini, dan aku adalah tukang cukur. Aku bahkan baru saja memotong rambutmu!”.

”Nggak!” pria itu mencoba menjelaskan, ”tukang cukur itu tidak ada. Klo benar mereka ada, pasti nggak akan ada orang dengan rambut panjang, acak-acakan, nggak terawat dengan jenggot dan kumis yang lebat kayak orang di luar itu!”

”ah, tapi tukang cukur benar-benar ada,” jawab si tukang cukur. ”yang terjadi adalah orang itu nggak datang ke aku untuk merapikan rambutnya....”

”tepat sekali!” seru si pria. ”itulah faktanya. Tuhan, juga BENAR-BENAR ada! Yang terjadi adalah orang-orang tidak datang dan mencari DIA. Itu sebabnya banyak penderitaan di dunia ini.”

Jumat, 13 Februari 2009

Expectancy Violations Theory

Hubungan Ruang

Ilmu yang mempelajari penggunaan ruang seseorang disebut sebagai proksemik. Mark Knapp dan Judith Hall (2002), menyimpulkan pengunaan ruang seseorang dapat mempengaruhi makna dan pesan.

Burgoon (1978) mulai dari sebuah premis bahwa manusia memiliki dua kebutuhan yang saling bertarung: afiliasi dan ruang pribadi. Ruang personal (personal space), menurut Burgoon, dapat didefinisikan sebagai “sebuah ruang tidak kelihatan dan dapat berubah-ubah yang melingkupi seseorang, yang menunjukkan jarak yang dipilih untuk diambil oleh seseorang terhadap orang lain”. Burgoon dan peneliti Pelanggaran Harapan lainnya percaya bahwa manusia senantiasa memiliki keinginan untuk dekat dengan orang lain, tetapi juga menginginkan adanya jarak tertentu.

Zona Proksemik

Edward Hall mengklaim bahwa terdapat empat zona proksemik-intim, personal, social, dan public. Tiap zona digunakan untuk alasan-alasan yang berbeda. Hall juga memasukkan range dari jarak spasial dan perilaku yang sesuai untuk setiap zona.

Jarak intim, zona spasial yang sangat dekat, mulai dari 0-18 inci contoh perilaku: sentuhan (berhubungan intim) atau mengamati bentuk wajah seseorang. Jarak personal, zona spasial yang berkisar antara 18 inci-4 kaki, digunakan untuk keluarga dan teman. Menurut Hall, perilaku dalam jarak personal termasuk bergandengan tangan hingga menjaga jarak dengan seseorang sejauh panjang lengan. Hall menyatakan bahwa dalam zona jarak personal, volume suara yang digunakan biasanya sedang, pa\nas tubuh dapt terasa dan bau napas atau bau tubuh dapat tercium. Jarak social, zona spasial yang berkisar antara 4-12 kaki, digunkan unutk hubungan-hubungan yang formal seperti hubungan dengan rekan kerja. Hall menyatakan bahwa jarak social yang terdekat biasanya digunakan di dalam latar belakang social yang kasual, contohnya pesta koktail. Jarak public, zona spasial yang berjarak 12 kaki atau8 lebih dan digunakan untuk diskusi yang sangat formal seperti antara seorang dosen dan mahasiswa di dalam kelas.

Kewilayahan

Kewilayahan, atau kepemilikan seseorang terhadap suatu area atau benda. Ada 3 jenis wilayah, yaitu: a. wilayah primer

b. wilayah sekunder

c. wilayah public

Wilayah primer merupakan wilayah eksekutif seseorang. Contohnya, ruang kerja seseorang. Wilayah sekunder merupakan afiliasi seseorang dengan sebuah area atau benda. Contohnya, mahasiswa sering menggunakan perpustakaan padahal mereka tidak memiliki bangunan tersebut, tapi mereka seringkali menggunakan ruang yang ada di dalamnya. Wilayah public, menandai tempat-tempat terbuka untuk semua orang, contoh pantai dan taman. Hingga titik ini, harapan kita akan perilaku orang lain akan bervariasi dari jarak tertentu ke jarak lainnya.

3 asumsi teori pelanggaran pengharapan

  • Harapan mendorong terjadinya interaksi antarmanusia.
  • Harapan terhadap perilaku manusia dipelajari.
  • Orang membuat prediksi mengenai perilaku nonverbal.

Harapan dapat diartikan sebagai pemikiran dan perilaku yang diantisipasi dan disetujui dalam percakapan dengan orang lain. Judee Burgoon dan Jerold Hale menyatakan ada dua jenis harapan: prainteraksional dan interaksional. Harapan prainteraksional mencakup jenis pengetahuan dan keahlian interaksional yang dimiliki oleh komunikator sebelum ia memasuki sebuah percakapan. Harapan interaksional merujuk pada kemampuan seseorang untuk menjalankan interaksi itu sendiri.

Valensi Penghargaan Komunikator

Burgoon, Deborah Coker dan Ray Coker melihat bahwa tidak semua pelanggaran atas perilaku yang diharapkan menimbulkan persepsi negatif. Para peneliti ini menyatakan hal sebagai berikut: ”Dalam kasus-kasus di mana perilaku bersifat ambigu atau menimbulkan banyak interpretasi, tindakan yang dilakukan oleh komunikator dengan tingkat penghargaan tinggi dapat menimbulkan makna positif, sementara tindakan sama yang dilakukan oleh komunikator dengan tingkat penghargaan rendah dapat menimbulkan makna negatif”.

Burgoon berpikir bahwa orang memiliki potensi baik untuk memberikan penghargaan maupun memberikan hukuman dalam percakapan dan berpendapat bahwa orang membawa baik karakteristik positif dan negatif dalam sebuah interaksi. Ia menyebut hal ini sebagai valensi penghargaan komunikator.

Ransangan

Burgoon awalnya merasa bahwa penyimpangan harapan memiliki konsekuensi. Penyimpangan atau pelanggaran ini, memiliki apa yang disebut sebagai ”nilai rangsangan”. Maksudnya, ketika harapan seseorang dilanggar, minat atau perhatian orang tersebut akan dirangsang, sehingga ia akan menggunakan mekanisme tertentu untuk menghadapi pelanggaran yang terjadi. Ketika rangsangan terjadi minat atau perhatian seseorang terhadap penyimpangan akan meningkat dan perhatian terhadap pesan akan berkurang. Sementara perhatian pada sumber rangsangan akan meningkat. Burgoon dan Hale kemudian menyebut hal ini ”kesiagaan mental” atau ”respon yang berorientasi” dimana perhatian dialihkan pada sumber penyimpangan.

Seseorang dapat terangsang secara kognitif maupun fisik. Rangsangan kognitif adalah kesiagaan atau orientasi terhadap pelanggaran. Ketika kita terangsang secara kognitif, indra inisiatif kita meningkat. Rangsangan fisik (phisical arousal) mencakup pelaku – pelaku yang digunakan komunikator dalam sebuah interaksi seperti keluar dari jarak pembicaraan yang membuat tidak nyaman, menyesuaikan pandangan selama interaksi berlangsung dan seterusnya.

Batas Ancaman

Begitu ransangan timbul, ancaman akan muncul. Konsep penting yang ketiga dalam EVT adalah batas ancaman yang oleh Burgoon di definisikan sebagai ”jarak di mana orang yang berinteraksi mengalami ketidaknyamanan fisik dan fisiologis dengan kehadiran orang lain” dengan kata lain, batas ancaman adalah toleransi bagi pelanggar jarak.

Valensi Pelanggaran

Valensi pelanggaran merajuk pada penilaian positf dan negatif dari sebuah perilaku yang tidak terduga. Valensi pelanggaran berbeda dengan valensi penghargaan komunikator. Ketika kita menilai seberapa bernilai seseorang atau komunikator kepada kita, kita menggunakan valensi penghargaan komunikator. Valensi pelanggaran sebaliknya berfokus pada penyimpangan itu sendiri.

Teori pelanggaran harapan adalah satu dari sedikit teori yang secara fokus pada apa yang diharapkan orangdan reaksi mereka kepada orang lain dalam sebuah percakapan. Asumsi dan konsep intinya menunjukkan pentingnya pesan-pesan non-verbal dan pemprosesan informasi. EVT juga meningkatkan pemahaman kita akan bagaimana harapan mempengaruhi jarak dalam percakapan teori ini menemukan apa yang akan terjadi di dalam benak para komunikator dan bagaimana komunikator memonitor perilaku non-verbal dalam pecakapan mereka. Dari beberapa kriteria untuk mengevaluasi teori, tiga di antarannya sangat relevan untuk dibahas ruang lingkup, kemungkinan pengujian dan kegunaan.